BANDUNG, unpas.ac.id – Dalam beberapa tahun terakhir, penanganan kasus dengan pendekatan restorative justice semakin masif digunakan untuk merespons dinamika hukum yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif.
Sepanjang 2021, Polri telah menuntaskan 11.811 perkara tindak pidana melalui pendekatan restorative justice. Jika dibanding 2020, jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 28,3 persen.
Menurut Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pasundan Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, M.H., hadirnya pendekatan restorative justice merujuk pada banyaknya tindak pidana di luar persoalan hukum pidana.
“Contohnya kasus investasi bodong. Kasus ini bukan tindak pidana murni, tapi biasanya berangkat dan dilatarbelakangi persoalan hukum ekonomi atau hukum perdata,” katanya, Kamis (1/9/2022) dikutip dari majalah AFOKUM Volume 3.

Ia menambahkan, apabila seseorang terlibat kasus investasi bodong dan dikenakan sanksi retributive justice atau hukuman penjara, pelaku belum tentu merasa jera dan sepenuhnya mendapat keadilan.
Kasus tersebut bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice yang menggunakan pendekatan win win solution atau mencari jalan keluar bersama, walaupun perkara berada di ranah pidana.
“Dalam kasus investasi bodong, umumnya korban investasi jarang menginginkan pelakunya dihukum penjara, tetapi ingin harta yang diinvestasikan kembali,” tuturnya.
Kasus apa yang bisa dituntaskan dengan restorative justice?
Kendati demikian, hanya kasus-kasus tertentu yang dapat dituntaskan dengan restorative justice, dilihat dari jenis tindak pidananya, kelompok usia pelaku, dan tujuan yang hendak dicapai.
“Lihat dulu jenis tindak pidana dan pelakunya, apakah anak di bawah umur, remaja, dewasa, atau orang tua. Pertimbangkan juga tujuannya, ingin pelaku mendapat efek jera atau sekadar minta ganti rugi untuk memulihkan keadaan,” tambahnya.
Apabila kasus sudah selesai dan kedua pihak sepakat untuk berdamai, (pelaku dihukum atau ganti rugi, korban diperlakukan adil atau dapat ganti rugi) maka penegak hukum berhak untuk menghentikan proses hukum dan tidak boleh mempersoalkan permasalahan di kemudian hari.
Konsep restorative justice, lanjut dia, dinilai tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang tidak memerlukan hukuman berat, seperti penyalahgunaan harta kekayaan atau kasus dengan pelaku anak di bawah umur dan orang tua.
“Restorative justice jadi alternatif sistem hukum pidana di Indonesia. Kalau dilihat secara positif, restorative justice bermaksud menstabilkan kondisi, sesuai tujuan pidana yang kita usung, yaitu keadilan, kebermanfaatan, dan pemulihan,” ujarnya. (Reta)**