BANDUNG, unpas.ac.id – Di penghujung 2021, kabar pergantian kurikulum hangat diperbincangkan. Kurikulum 2013 dan kurikulum darurat yang selama ini diterapkan di sekolah bakal diganti dengan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka diluncurkan Kemendikbudristek sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang ditetapkan sejak Desember 2019. Kurikulum Merdeka merupakan pengembangan kurikulum darurat yang diimplementasikan untuk merespons pandemi Covid-19.
Sekolah diberi tiga pilihan, yaitu menggunakan Kurikulum 2013 secara penuh, Kurikulum 2013 yang disederhanakan (kurikulum darurat), atau Kurikulum Merdeka yang semula disebut Kurikulum Prototipe.
Kurikulum Merdeka digadang-gadang lebih unggul karena fokus pada materi esensial dan memberikan kemerdekaan kepada siswa, kepala sekolah, dan guru dalam memilih pembelajaran yang sesuai.
Mengapa kurikulum harus berubah?
Dalam rentang 75 tahun, Indonesia telah menggunakan 10 kurikulum yang rata-rata digunakan dalam kurun waktu 10 tahun, kecuali Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Lantas, mengapa kurikulum harus berganti? Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pasundan Dr. H. Uus Toharudin, M.Pd. dalam podcast Unpas Talk episode 33 menyebut, perubahan kurikulum wajar terjadi karena kebutuhan dan tantangan ke depan senantiasa berubah.
Bagi dirinya yang berkecimpung di dunia pendidikan, ia menilai perubahan kurikulum tidak perlu diperdebatkan. Terlebih generasi saat ini dihadapkan dengan perubahan teknologi dan digitalisasi. Akan muncul jenis pekerjaan baru, sehingga pelajar dituntut meningkatkan kompetensinya.
“Saya mempelajari kurikulum sejak 1988. Saya juga mengampu mata kuliah Strategi Pembelajaran. Walaupun kurikulum berubah, tapi ada yang esensial, yakni konten, metode, dan penilaian. Unsur itu harus tetap melekat meski aksesorinya berubah,” terangnya.

Ia menambahkan, apa pun kurikulum yang berlaku, insan pendidikan mesti mampu menggamit teknologi dan menyesuaikan dengan tren positif masa kini. Lantaran bagaimana pun, teknologi tidak bisa dihindari, tinggal bagaimana individu terampil menggunakannya.
“Kami harus menyambut positif perubahan tersebut. Kalau disikapi dengan baik, tujuan pendidikan Indonesia tentu akan tercapai. Kurikulum memang berubah, tapi tidak dengan esensinya,” sambungnya.
Idealnya, di Kurikulum Merdeka guru-guru dapat melihat perubahan yang terjadi jika dibandingkan kurikulum sebelumnya, alasan perubahan kurikulum, serta pendekatan yang dipakai pada kurikulum baru.
Kemudian kompetensi yang diharapkan, perangkat kurikulum yang disediakan, perangkat ajar yang dibutuhkan, implementasi di kelas, sampai model penilaiannya. Perubahan kurikulum harus dilihat sebagai satu kesatuan yang holistik, bukan parsial.
Ia menilai, Kurikulum Merdeka yang digulirkan sekarang sebetulnya kembali dan hampir sama dengan metode modul. Namun ada istilah-istilah baru seperti Kompetensi Dasar, indikator, dan sebagainya yang disesuaikan dengan perkembangan masa kini.
“Dari dulu perputaran dan esensinya sama, hanya fokusnya yang berbeda-beda. Jadi menurut saya, hal ini bukan sesuatu yang perlu dirisaukan,” tutupnya. (Reta)**