BANDUNG, unpas.ac.id – Bisnis jasa titip atau jastip baru-baru ini menjadi sorotan lantaran disebut merugikan negara, khususnya jastip dari luar negeri.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani. Ia menyebut, bisnis jastip menimbulkan kerugian karena seharusnya pelaku jastip membayar pajak dan bea masuk.
Jastip menjadi bagian dari barang bawaan penumpang yang ketentuannya tertera dalam PMK 203/2017.
Pada aturan tersebut, impor barang penumpang dibagi menjadi personal use dan nonpersonal use. Barang personal use akan mendapatkan pembebasan bea masuk dengan besaran Free On Board (FOB) senilai US$500 per penumpang.
Barang yang diimpor dengan skema jastip dikategorikan sebagai barang nonpersonal use, sehingga penyelesaian kewajiban kepabeanannya tidak memperoleh fasilitas pembebasan seperti barang pribadi penumpang.
Menanggapi fenomena tersebut, Dosen dan Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi mengatakan, tren jastip sebenarnya sudah muncul sejak lama.
Masyarakat memilih untuk membeli barang tertentu dari luar negeri dan menggunakan jastip karena harganya jauh lebih murah ketimbang di dalam negeri.
Terkait PMK 203/2017 yang disebut Dirjen Bea Cukai, ia menilai aturan itu perlu direvisi. Sebab, US$500 terlalu kecil untuk barang bawaan yang dibawa penumpang dan awak sarana pengangkut.
Ia menyarankan, besaran FOB setidaknya US$1000 karena pendapatan masyarakat seiring tahun juga berubah.
Ia pribadi setuju jika praktik jastip dikenakan pajak, namun harus ada klasifikasi yang jelas karena di satu sisi fenomena jastip bisa mendorong perekonomian dan menyejahterakan negara.
“Silakan kenakan pajak kalau yang bersangkutan memang bisnis jastip, bukan sekadar temporer, melainkan jadi aktivitas rutin. Tapi penumpang yang hanya sesekali ke luar negeri dan barangnya kena pajak ya saya rasa tidak adil,” terangnya, Rabu (1/3/2023).
Disinggung soal pajak impor di luar barang personal use, ia menekankan perlunya tata kelola atau konsensus antara importir umum dengan pemerintah. PMK yang sekarang berlaku masih terlalu sporadis, sehingga penerapannya tidak optimal.
Ia menambahkan pajak importir sebetulnya tidak terlalu tinggi. Sayangnya, produk-produk yang dijual kemudian lepas kontrol karena tidak ada declare soal standar harga jual.
“Saya yakin fenomena jastip akan terus berkembang, untuk itu regulasinya harus spesifik. Masyarakat juga wajib bayar, supaya tidak terjadi konflik antara petugas bea cukai dengan konsumen di lapangan. Bagaimanapun, masyarakat berhak menikmati barang berkualitas dengan harga terjangkau,” paparnya.
Aturan ke depan, kata dia, mesti lebih teknis agar tidak menimbulkan multiinterpretasi di masyarakat. Dengan begitu, bisnis jastip tetap berjalan dan pajaknya bisa ditarik.
“Tetapkan batasan logis supaya willingness to pay masyarakat untuk membayar pajak meningkat,” tandasnya.