BANDUNG, unpas.ac.id – Kejahatan siber (cyber crime) kian marak terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan dan penggunaan teknologi. Kasus pencurian data, phishing, ransomware, penipuan online, skimming, OTP fraud, peretasan website/email, SIM swap, hingga konten ilegal merupakan beberapa jenis kejahatan siber yang kerap ditemukan di Indonesia.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Maman Budiman, S.H., M.H. turut menyoroti kompleksitas kejahatan siber. Menurutnya, teknologi memang memberikan kemudahan untuk berbagai aspek kehidupan, namun ada sebagian masyarakat yang memanfaatkannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan etika dan hukum.
Ia menilai, banyaknya kejahatan yang muncul di dunia maya perlu dipahami lebih dalam, terutama terkait faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Di antaranya faktor SDM yang memanfaatkan teknologi, mudahnya akses internet, dan adanya celah untuk melakukan kejahatan.
“Positif dan negatifnya teknologi tergantung pada siapa yang menggunakannya. Lalu, internet tanpa batas dan menjamurnya sekolah atau konten-konten teknologi di media sosial yang bisa diakses siapa pun telah membuka celah, bukan hanya bagi mereka yang ingin belajar untuk tujuan positif, tapi juga mereka yang berniat melakukan kejahatan,” paparnya, dikutip dari Podcast BEM FH Unpas, Rabu (13/12/2023).
Perlu Regulasi Khusus
Disinggung soal aspek keamanan siber, ia mengatakan saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang kuat untuk mencegah dan menindak tinda pidana siber. UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai belum cukup untuk menangani seluruh aspek kejahatan siber.
“Kita butuh regulasi yang lebih spesifik, sebagaimana UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, atau UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tanpa regulasi yang memadai, kita rentan terhadap serangan di dunia maya, baik di tingkat pendidikan, pemerintahan, maupun sektor lainnya,” ujarnya.
Kendati demikian, ia mengapresiasi langkah-langkah yang sudah diambil pemerintah melalui Kemenkominfo dalam menangani kasus-kasus kejahatan siber, seperti memblokir situs pornografi, judi online, film bajakan, dan lain-lain.
Aparat penegak hukum pun makin gencar menindak kasus-kasus kejahatan siber, walaupun masih di level Polda dan sejumlah besar kasus baru ditangani ketika disinyalir menyeret nama publik figur. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah melakukan ekspansi hingga ke tingkat Polres dengan mendirikan unit cyber crime, sehingga meningkatkan pemahaman dan penanganan kasus secara lokal.
Ia berpendapat, pemerintah perlu memiliki rencana strategis jangka panjang untuk menangani kejahatan siber. Sebagai pengajar mata kuliah cyber crime, ia menyebut kejahatan ini sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang membutuhkan perencanaan matang.
“Di dunia internasional, jenis extraordinary crime antara lain terorisme, genosida, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional yang terorganisir, kejahatan terhadap keamanan negara, dan sebagainya. Tapi di Indonesia, banyaknya kejahatan siber menunjukkan bahwa teknologi kerap disalahgunakan, sehingga kasus-kasus terkait kejahatan siber membeludak, sedangkan budaya hukum kita belum siap,” sambungnya.
Kepada masyarakat, ia berpesan agar memahami regulasi dan membekali diri dengan pengetahuan agar dapat mengantisipasi kejahatan siber. “Untuk mahasiswa, pahami betul UU ITE, termasuk kami tenaga pengajar, supaya wawasan bertambah. Jangan lupa perbanyak pelajari kasus. Masyarakat juga mesti tahu bagaimana penggunaan teknologi yang baik, karena sekarang tidak lagi ‘mulutmu harimaumu’, melainkan ‘jarimu harimaumu’,” tandasnya. (Reta)**