BANDUNG, unpas.ac.id – Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Pasundan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kamis (21/3/2024) di Ruang Rapat Lt. 7, Gedung Rektorat, sebagai bentuk tindak lanjut perjanjian kerja sama yang sudah ditandatangani Rektor Unpas dan Ketua LPSK RI.
FGD dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Belmawabud Prof. Dr. Cartono, M.Pd., M.T. dan dihadiri seluruh anggota Satgas PPKS, narasumber Achmad Soleh, S.IP. (Ketua Tim Bidang Kerja Sama LPSK), Irfan Maulana, S.IP., M.AP. (Tenaga Ahli LPSK), serta perwakilan dari LPSK.
Prof. Cartono menyampaikan, FGD ini menjadi forum yang tepat untuk mendiskusikan strategi dan langkah-langkah konkret dalam memberikan perlindungan dan akses keadilan bagi korban maupun saksi.
“Satgas PPKS Unpas memerlukan informasi yang komprehensif mengenai tupoksi dan wewenang LPSK, juga proses pengajuan permohonan perlindungan untuk korban dan anggota Satgas PPKS jika terjadi situasi yang membahayakan,” jelasnya.
Ketua Tim Bidang Kerja Sama LPSK Achmad Soleh, S.IP. menjelaskan, kekerasan seksual merupakan salah satu tindak pidana yang jadi prioritas LPSK. Selain korban kekerasan seksual, LPSK juga memastikan perlindungan bagi saksi, saksi pelaku, pelapor, dan ahli.
Program perlindungan yang diberikan yakni perlindungan fisik, perlindungan hukum, pemenuhan hak prosedural, bantuan (medis, psikologis, dan psikososial), dukungan pembiayaan, fasilitas restitusi, dan kompensasi.
“Pemohon dapat mengajukan permohonan secara langsung atau tidak langsung. LPSK akan melakukan telaah awal dengan menentukan tindak pidana tertentu dan memeriksa kelengkapan rekomendasi tindak lanjut. Lalu, LPSK memverifikasi berkas permohonan, menelaah materi (investigasi, penilaian, asesmen, dll), dan memutuskan permohonan dalam rapat paripurna,” paparnya.
Pemohon yang di maksud terdiri dari saksi/korban, keluarga saksi/korban, pendamping/kuasa hukum dari saksi/korban, aparat penegak hukum, dan instansi terkait yang berwenang. Permohonan dapat disampaikan melalui website resmi LPSK, surat, aplikasi, datang langsung, aparat penegak hukum atau pihak berwenang, email, WhatsApp, dan hotline LPSK.
Intimidasi dari pihak tertentu akan menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi saksi atau korban dalam memberikan keterangan pada proses peradilan pidana, sehingga perlindungan bagi saksi dan korban dinilai sangat penting.
Laporan balik bagi pelapor tindak pidana juga kerap mengurungkan niat pelapor untuk memberikan informasi secara terang. Belum lagi trauma berkelanjutan yang tidak hanya berdampak pada kesulitan memberikan keterangan dalam sistem peradilan pidana, tetapi juga dapat memengaruhi kehidupan sosial dan menimbulkan potensi korban menjadi pelaku di kemudian hari.
“Apalagi sampai saat ini tidak ada jaminan perlindungan bagi saksi pelaku yang telah membantu mengungkap dan membuat terang suatu perkara. Urgensi lainnya yakni belum jelasnya pelaksana hak bagi saksi korban dan minimnya pengaturan perlindungan bagi saksi dan korban dalam KUHAP,” tambahnya.
Ia menambahkan, merujuk pada data Komnas Perempuan, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, perguruan tinggi menjadi jenjang pendidikan dengan tingkat kekerasan seksual tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya.
“Perlindungan bagi korban kekerasan seksual di kampus juga penting, karena berdasarkan data LPSK, 93 persen pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang di sekitar korban, termasuk keluarga inti, teman atau pacar, bahkan guru/pendidik di lingkungan pendidikan. Sedangkan 7 persen sisanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal korban,” terangnya. (Reta)**