BANDUNG, unpas.ac.id – Popularitas bahasa Sunda di kalangan milenial kini mulai terkikis dan bersaing dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Eksistensi dan karakter Sunda pun perlahan memudar seiring dengan masuknya budaya luar.
Menanggapi hal tersebut, Budayawan sekaligus Ketua Lembaga Budaya Sunda Universitas Pasundan Dr. H. Wawan ‘Hawe’ Setiawan, M.Sn. mengatakan, nilai-nilai kesundaan pada generasi milenial termasuk bahasa dan karakter Sunda sebenarnya tidak sepenuhnya hilang.
“Di satu sisi, lembaga pendidikan formal memang perlu mengajarkan bahasa Sunda yang terstandardisasi. Tapi, di sisi lain, saat berada di lingkungan non-formal, ekspresi kesundaan yang kekinian harus diapresiasi. Jadi bukan hilang, hanya saja lebih fleksibel,” ujarnya di Kampus IV Unpas, Jalan Dr. Setiabudhi No 193, Bandung, Rabu (19/5/2021).
Ia mengamati bahasa Sunda di kalangan milenial melalui mini riset yang tengah digarapnya. Ia merambah hingga lingkup terkecil untuk mengetahui ekspresi sehari-hari masyarakat dalam bahasa Sunda.
“Lewat riset ini, saya tahu ternyata bahasa Sunda masih banyak digunakan oleh milenial. Misalnya, untuk label makanan, dibuat desain kaus, bahkan ada yang menamai produk tembakau dengan Kade Bahe dan penggagasnya adalah anak-anak muda,” tambahnya.
Menurutnya, generasi milenial saat ini bukan meninggalkan bahasa Sunda, justru banyak yang menggunakannya sebagai bentuk pemberontakan terhadap kapitalisme. Bahasa Sunda dipandang sebagai elemen lokal dan antipode yang dominan.
“Problemnya, kreativitas semacam ini malah sering diabaikan. Begitu terlihat potensial, lalu dikooptasi. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam mengapresiasinya, jangan sampai mereka terkooptasi dalam sistem yang sebetulnya perlu dikoreksi,” jelas Hawe.
Ia memandang, bagi milenial, langkah inovatif tersebut menjadi cara untuk mengoreksi hal-hal yang sudah dominan dengan gaya mereka sendiri. Kearifan lokal masih memiliki tempat dalam jiwa-jiwa milenial.
“Ketika ada sesuatu yang bernilai Sunda dari generasi muda, jangan distrukturkan, karena nanti tidak ekspresif lagi. Jadi, ada wilayah yang harus dibiarkan ekspresif, ada juga yang bisa distrukturisasi,” tutupnya. (Reta Amaliyah S)*