BANDUNG, unpas.ac.id – Memperingati Hari Film Nasional ke-71 yang jatuh pada 30 Maret, aktor sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan Budi ‘Dalton’ Setiawan turut menyampaikan pendapatnya mengenai perfilman Indonesia.
Aktor yang telah terjun di dunia kesenian sejak 1996 ini mengatakan, masyarakat Indonesia masih belum bisa memaknai film sebagai sebuah edukasi, melainkan sebatas sarana hiburan. Film-film edukasi masih kalah pamor, terutama dibandingkan dengan tema percintaan dan kekerasan.
“Kesadaran kita bahwa film adalah sebuah edukasi di luar hiburan itu sepertinya kurang kental. Orang Indonesia masih suka dengan film percintaan atau kekerasan, sehingga film yang sifatnya edukatif akan sulit menjadi box office atau best seller jika dalam buku,” ujarnya di Kampus IV Unpas, Jalan Dr. Setiabudhi, Bandung, Rabu (31/3/2021).
Budi Dalton juga menyayangkan, saat ini demi kepentingan penjualan, kualitas pemain film kurang diperhatikan. Di banding kualitas, katanya, yang diutamakan justru popularitas.
“Saya lihat banyak pemain film, tapi saya tidak tahu mereka berasal dari mana. Ibaratnya, mereka ada di puncak gunung, tapi tidak pernah naik gunung dan tidak tahu caranya turun gunung. Sekarang yang penting justru popularitas, itu yang saya rasa berubah dari dunia perfilman,” jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya, untuk berkecimpung di dunia layar lebar, terlebih sebagai aktor autodidak, memerlukan perjuangan yang tidak mudah. Berangkat dari Rumah Musik Harry Roesli yang dulunya bernama Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), Budi Dalton mulai menggali potensi seninya.
Karier Budi Dalton di industri perfilman berawal dari perannya di pertunjukan musik teatrikal. Melihat karakternya yang cukup unik dan cenderung ceplas-ceplos, Budi Dalton lalu didapuk oleh salah satu perusahaan film untuk bermain layar lebar.
“Karena saya juga dosen seni musik, pada 2006 saya berkesempatan menjadi juri pada kompetisi musik di salah satu stasiun televisi. Lalu, saya juga bergabung dengan beberapa sketsa televisi. Dari situ saya punya pengalaman, bahwa segala sesuatu tidak ada yang instan,” tambahnya.
Disinggung mengenai kondisi perfilman Indonesia, Ia mengatakan ada banyak disiplin keilmuan, sejarah, tempat, artefak, atau cerita-cerita menarik di dalam negeri yang dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui film.
Budi Dalton berharap, ke depannya para penulis naskah dan sutradara dapat menggali potensi-potensi yang ada di Indonesia agar menjadi daya tawar ke seluruh dunia.
“Indonesia butuh lebih banyak film yang mengedukasi. Percaya dirilah terhadap dongeng atau cerita apapun yang ada di negeri sendiri demi kemajuan bangsa Indonesia. Saya yakin secara teknologi dan teknis, banyak pelaku seni di Indonesia yang punya kemampuan lebih dari bangsa manapun,” tutupnya. (Reta Amaliyah S)*