Seminar dan Pameran Batu Akik
Peluang Ekonomi, Tapi Jangan Merusak Alam
Untung-untungan atau serba kebetulan. Jika sedang mujur, dari sebongkah batu mungkin saja didapat satu-dua batu akik hasil gosokan berkualitas baik, dan bisa dijual dengan harga mahal. Tapi kalau lagi kurang beruntung, yang didapat hanyalah batu akik biasa-biasa saja.
Begitulah pengalaman para penggosok batu akik yang kini banyak ditekuni orang. Bahan yang akan diolah hanya bongkahan, yang tentu saja masih berupa teka-teki, atau mungkin mendekati misteri. Namun, justru di situlah adanya harapan. Siapa tahu bisa didapat hasil berkualitas, baik dalam perpaduan warna maupun unsur estetika lainnya, yang bagi orang yang sudah ahli tentu tahu betul di mana letak keindahannya.
Hal itu dipaparkan pada pembuka kata Prof. Dr. H. Adjat Sudradjat, ahli geologi yang guru besar di Unpad. Ia menyampaikan materi pada seminar yang acaranya dilanjutkan dengan pameran batu akik, di Kampus IV Unpas, Jalan Setiabudhi, Bandung, hari Ahad, 24 Mei 2015. Kegiatan yang mengundang hasrat bagi para penggemar batu akik alias gemstone ini tidak hanya menampilkan pembahasan dari pakar material bumi, melainkan juga ahli agama (Prof. Dr. H. Sukriyadi Sambas), ahli ekonomi (Acuviarta, SE, ME), dan ahli budaya (Dr. Hawe Setiawan), dipandu oleh moderator Drs. H. Elin Samsuri.
“Akhir-akhir ini kita menemukan sebuah kenyataan yang cukup mencengangkan, yaitu ketertarikan orang-orang terhadap batu akik. Di mana-mana, jika orang sedang berkumpul, batu akik sering menjadi bahan pembicaraan yang tak ada habis-habisnya. Yang menggemari batu akik kini tak hanya sebatas laki-laki, melainkan juga kaum hawa,” ucap Ketua Pelaksana Seminar dan Pameran Batu Akik Unpas, Dr. Yaya M. Abdul Aziz pada pidato pengantarnya.
Kondisi seperti itu, lanjut Yaya yang menjabat Ketua Lemlit Unpas, kiranya akan menarik jika dibicarakan secara serius pada forum seminar; mengingat bagaimana demamnya masyarakat terhadap batu akik. Berhubung Unpas adalah lembaga perguruan tinggi, tentu saja materi mengenai batu akik yang akan dibahas ini harus jelas argumentasinya, serta apa manfaatnya jika diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
“Beberapa wilayah di Jawa Barat sudah sejak lama dikenal memiliki material yang merupakan bahan dasar batu akik. Hal itu merupakan potensi yang kita miliki, yang untuk ke depannya mungkin bisa diposisikan sebagai sumber pendapatan asli daerah, sebagaimana yang telah dilakukan di beberapa kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” ucap Yaya.
Megatrend
Dalam sambutannya, Rektor Unpas, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp., M.Si., M.Kom. menyatakan bahwa tingginya ketertarikan orang terhadap batu akik akhir-akhir ini dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang bagi berkembangnya ekonomi kreatif. “Melalui kegiatan seminar ini semoga kita bisa bersilaturahmi, sekaligus bisa menambah ilmu yang disampaikan para ahli. Sebetulnya batu akik itu apa dan bagaimana jika dilihat dari sudut keilmuan, serta apa saja manfaatnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal seperti itu merupakan tugas dan garapan Unpas dalam melaksanakan Tridarmanya,” ujarnya.
Prof. Eddy yang keahliannya terkait dengan bidang pemasaran melihat kenyataan bahwa minat masyarakat terhadap batu akik bukan hanya sekadar mode, melainkan sudah sampai menjadi trend, atau mungkin bisa saja menjadi megatrend. Yang termasuk ke dalam mode biasanya hanya berlangsung sesaat dalam hitungan musim. “Kita melihat, pada waktu yang lalu keripik Ma Icih, misalnya, yang cukup mencuat, namun setelah itu kini menurun lagi, lalu digantikan oleh green tea atau teh hijau, sampai-sampai ada pembuatan kue yang menggunakan green tea.”
Adapun yang termasuk ke dalam trend, biasanya berlangsung cukup lama, tidak hanya sesaat sebagaimana halnya mode. Yang sekarang sedang trend misalnya saja penggunaan tomsis dalam pemotretan yang menggunakan hape. Boleh dikata hampir setiap orang gemar berfoto ria dengan menggunakan tomsis atau tongkat narsis. Bertahannya trend biasanya karena didukung oleh adanya peralatan hasil teknologi. Sedangkan untuk megatrend, keberlangsungannya lebih lama lagi, mungkin sampai puluhan tahun, misalnya saja dalam menggunakan facebook atau twitter.
Adapun batu akik menjadi trend karena didorong oleh hobi. Kita mengerjakan sesuatu yang didorong oleh hobi biasanya akan menghasilkan keberlangsungan yang cukup lama. “Fenomena batut akik pun seperti itu. Apalagi didukung oleh ketersediaan sumber alam yang bisa dijadikan bahan pembuat batut akik,” ucap Prof. Eddy.
Namun, lanjutnya lagi, merebaknya kegemaran masyarakat terhadap batu akik jangan sampai menimbulkan kerusakan alam. “Inilah yang harus kita cegah sejak dini.”
Imajinasi Hantu
Sejalan dengan pendapat Rektor Unpas, Prof. Adjat pun berpendapat demikian. “Merebaknya permintaan publik akan batu akik, di satu pihak memberikan makna perputaran roda ekonomi, namun di pihak lain cukup mengkhawatirkan, terutama terhadap kerusakan lingkungan,” ucap guru besar yang akrab terhadap gunung-gunung berapi ini.
Pada zaman dulu, mencari batu akik hanya dengan memungutnya di sungai-sungai. Tetapi dengan meningkatnya permintaan, maka penggalian pada sumber batut akik banyak dilakukan. Penggalian ini menyebabkan rusaknya lahan.
Dalam terminologi sumberdaya mineral, batu akik termasuk dalam golongan batu setengah mulia. Penggolongan ini didasarkan pada kekerasannya yang berada di posisi tujuh pada skala Mohs. Yang termasuk golongan ini misalnya saja krisokola, opal, krisopas, kalsedon, kecubung, merah delima, giok, pirus, dan yasper. Sedangkan mineral dengan kekerasan lebih dari tujuh dimasukkan ke dalam batu mulia. Yang paling keras adalah intan, nilainya sepuluh. Setelah itu barulah diikuti oleh safir, rubi, dan emerald.
Batu akik kemudian diberi nama komoditi yang mengundang daya tarik, seperti batu pancawarna edong atau pancawarna ohen, kalimaya, bahkan belakangan dikenal batu oncom odey. Ada pula yang diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya, seperti yang sekarang terkenal adalah batu akik bacan yang berasal dari Pulau Bacan. Batu akik yang sudah lama membawa nama lokasi adalah akik Suliki dari Aceh, akik Sungai Dareh dari Sumatra Barat, akik Sukabumi, akik Bungbulang dari Garut, dan akik Klawing dari Banjarnegara.
Skala penambangannya yang tidak besar dan dilakukan oleh masyarakat, menyebabkan penambangan batu akik kurang layak untuk diwajibkan memiliki perizinan. Kondisi ini sangat menyulitkan dalam pengawasan. Namun sangat beruntung karena penambangan batu akik tidak disertai pengolahan yang membahayakan lingkungan.
Kualitas batu akik sangat ditentukan oleh kebeningan, warna, dan tidak adanya cacat. Akan tetapi harga lebih ditentukan daya tarik. Bahkan dapat dibuat berbagai cerita, sehingga orang seolah-olah membayangkan adanya berbagai gambar dalam batuan tersebut. Gambar pemandangan lebih mudah untuk diimajinasikan, sedangkan gambar fanuna dan manusia lebih sulit” “Barangkali imajinasi hantu lebih mudah ketimbang imajinasi bentuk manusia,” ucap Prof. Adjat, bergurau.
Batu akik sebagai perhiasan boleh-boleh saja. Demikian dikatakan Prof. Sukriyadi dari UIN Bandung. Yang tidak boleh menurut pandangan syari’ adalah menjadikan batu akik sebagai perhiasan dengan disertai sikap israaf (berlebih-lebihan), fawahis (asusila), ism (dosa), bagyu (kazaliman yang melampaui batas), musyrik (menyekutukan Tuhan), golfah (lupa kepada Tuhan), itiba’ul hawa (menuruti hawa nafsu), dan furutha (kehidupan yang amburadul).
“Selain itu, batu akik juga bisa sebagai benda ekonomi yang tata cara ekonominya mengacu pada aturan syara’ sebagai kajian ilmu fiqih,” ucapnya lagi.
Dikatakan pula oleh Prof. Sukriyadi, problematika dalam penggunaan batu akik termasuk bagian dari persoalan yang kontroversi. Karena itu, ada yang menggunakan, dan ada yang tidak. Ada yang percaya bahwa batu akik itu mengandung khasiat, dan ada pula yang memandang sebagai asesoris saja. Mereka yang percaya mengacu pada pendapat mengenai penafsiran konsep tawasul bi atsari sholihin, yang berpandangan bahwa atas izin Allah, di dalam batu itu ada nilai khasiat bagi kehidupan. Argumennya mengacu pada penafsiran tentang Tabut yang tertera dalam Quran’ Surat Albaqarah: 248. Tabut sebagai peti tempat kitab Taurat di dalamnya mengandung barokah dan sakinah, yang karenanya Nabi Musa dan Raja Thalut mendapat kemenangan dalam segala peperangan melawan kelompok tentara Jalut sebagai musuh bebuyutannya.
Dikatakan pula oleh Prof. Sukriyadi bahwa Rasul SAW memakai batu akik, pemberian dari Yaman, namun batangnya bukan terbuat dari emas.
Terlepas dari adanya anggapan masyarakat bahwa ada yang percaya mengandung hasiat, atau hanya sekadar asesorism trend terhadap batu akik merebak ke segala lapisan. Kios yang menjual batu akik kini tersebar ke berbagai peloksok, tentu saja dengan kualutas barang serta harga amat bervariasi.
“Hal itu merupakan peluang untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, yang dengan sendirinya akan mengacu pada pertumbuhan,” demikian dikatakan Acuviarta yang dosen Fakultas Ekonomi Unpas ini. Buktinya, lanjut Acu, pada tahun 2014, yang menekuni usaha batu akik tercatat 159.919 orang. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar 127 ribu orang.
Meskipun demikian, kegiatan ekonomi di bidang batu akik ini belum optimal, sebab umumnya hanya memenuhi kebutuhan di dalam negerim yang itu pun proses kreativitas dalam pembuatannya belum begitu tinggi.
Batu Jalan Bolong
“Kegiatan ekspor kita masih jauh di bawah negara-negara lain. Ekspor ke Amerika, misalnya, batu akik dari kita belum masuk hitungan. Berbeda jauh dengan India atau Afrika Selatan. Sedangkan dari ASEAN, yang sudah mulai melangkah dalam ekspor batu akik ini adalah Thailand,” ucap Acu yang tulisannya sering muncul pada media massa ini.
Tentu saja, ekspor batu akik ini jangan yang berupa bongkahan atau bahan mentahnya, melainkan harus yang sudah jadi dan siap sebagagai asesoris. “Agar nilainya bisa tinggi. Jadi, perlu ada kreativitas yang proses pengerjaannya tidak cukup hanya mengandalkan hasil otodidak saja.”
Tahun lalu, terungkap adanya ekspor batu akik ilegal yang nilainya mencapai Rp 485 milyar. Bongkahan yang akan diekspor tersebut berasal dari Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi, Purbalingga, dan Cilacap. Bagaimana dengan nilai ekspor ilegal yang tidak sempat diketahui pada waktu-waktu sebelumnya, Acu tidak mendapatkan angkanya.
Peluang meningkatkan pasar batu akik di dalam negeri, menurut pendapat Acu, sebaiknya dikaitkan dengan kegiatan pariwisata. Para wisatawan dibawa atau diarahkan ke sentra-sentra pembuatan batu akik, sebagaimana yang dilakukan Malaysia ketika yang mengarahkan atau membawa turis ke sentra-sentra produksi coklat. “Kita punya potensi untuk melangkah ke aras itu,” ucapnya.
Bagi Ketua Lembaga Kebudayaan Sunda (LBS) Unpas, Hawe Setiawan, meningkatnya kegemaran masyarakat akan batu akik tidak hanya dianggap sekedar hobi, melainkan menunjukkan adanya upaya kreatif, khususnya dalam mencari istilah yang tepat untuk memberi nama pada batu-batu akik yang “jenisnya” terus bertambah.
“Penamaan batu akik jadi membawa imajinasi saya tokoh-tokoh yang berpentas di panggung drama,” ucapnya. Penamaan pun ditarik secara spesifik ke tingkat lokal, lalu muncullah pancawarna atau kalimaya.
“Yang membuat saya bangga, istilah perbatuan pada Dictionary of Gems and Gemology yang disusun Mohsen Manutéhehr-Danai, banyak yang dikaitkan dengan kekayaan alam Indonesia, misalnya saja billitonite (merujuk ke Belitung), javaite (merujuk ke Pulau Jawa), melengket, dab trisakti diamond,” ucapnya.
Alangkah baiknya jika kita mulai memikirkan untuk menyusun kamus atau ensiklopedia batu mulia Indonesia. Upaya semacam itu menunjukkan rasa cinta kita terhadap kekayaan alam di tanah air.
Para peserta seminar kemudian berkeliling untuk melihat-lihat batu akik yang dipamerkan, baik di halaman parkir maupun yang ditempatkan di aula lama. Tidak hanya beragam batu akik, termasuk yang masih sebagai bahan mentah, melainkan digelar juga perangkat yang terkait dengan batu akik, mulai dari batang hingga lampu senter untuk menyorot bagian dalam batu akik. Tedntu saja ada transaksi, sebab di antara pengunjung pameran banyak juga penggemar fanatik batu akik.
Yang cukup menarik adalah pameran yang digelar oleh Budi Setiawan yang di kalangan FISS Unpas lebih dikenal dengan sebutan Budi Dalton. Ia membuka stand khusus untuk mengkomunikasikan hasil kreativitasnya. Budi yang Pembantu Dekan III FISS ini membuka stand Batu Jabol alias jalan bolong. Unik memang, yang dipamerkannya adalah beragam batu akik yang bahannya diambil dari Kota Bandung.
Lho, di Kota Bandung ada sumber batu akik?
“Banyak. Saya mengambil bahan ini dari berbagai tempat, terutama di pinggir-pinggir jalan,” jawab Budi.
Ia memunguti batu koral di jalan-jalan berlubang, termasuk juga pecahan-pecahan granit yang dipasang pada trotoar. Batu-batu yang dianggap tak berharga itu kemudian digosok sebagus mungkin sehingga akhirnya bermetamorfosa menjadi batu akik.
“Ini namanya mustika wastukancana, sebab bahan yang berupa batu koralnya saya pungut dari jalan berlubang di Jalan Wastukancana. Ini baru mustika gedung sate karena ditemukan di halaman Gedung Sate,” ucap Budi.
Meski lebih ditekankan pada bergurau, atau mungkin sebetulnya menyajikan sesuatu secara satir, apa yang disajikan Budi dikerjakan secara serius. Batu hasil gosokannya, termasuk dalam pemasangan batang, tidak dikerjakan asal-asalan.
Tentang harga?
“Murah, Kang, ini akan saya lepas seharga empat ribu rupiah,” ucapnya, “tapi ditambah ongkos untuk umroh, he-heh ….”
Ya, begitulah Dalton.***