BANDUNG, unpas.ac.id – Pada peringatan Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1443 H, Rabu (11/8/2021) kemarin, Unpas menghadirkan cendekiawan ulama yang juga Rektor UIII dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat untuk mengisi kajian bertema ‘Implementasi Spirit Piagam Madinah dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan’.
Tahun baru hijriah berkaitan erat dengan peristiwa hijrah atau perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Ia menjelaskan, hijrah merupakan salah satu etos gerak yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama dinamis dan mengajarkan umatnya untuk senantiasa bergerak.
“Ada tiga kekuatan dalam diri manusia yang harus sinkron bergerak, yaitu olah jasmani, olah pikir, dan olah hati, ketiganya mesti seimbang. Nikmat itu ketika sehat jasmaninya, bisa berpikir jernih, dan olah hati agar merasakan indahnya beragama. Ketiganya mesti seimbang, supaya manusia tidak kering hatinya dan menjadikan agama sebagai objek perdebatan,” katanya.
Dalam konteks keislaman, belajar dari spirit Piagam Madinah, ada banyak kebaikan yang dapat diteladani pada sosok Nabi Muhammad SAW. Sebelum menerima wahyu, beliau sudah lebih dulu dikenal sebagai Al-Amin, orang yang terpercaya, dihormati, dan terpuji.
Hal tersebut menunjukkan, dalam mendidik pribadi seorang mukmin, tidak cukup hanya mengandalkan nalar, tetapi juga rahmat dan kasih sayang. Wujudnya berupa kebaikan, keindahan, dan kedamaian sebagaimana sifat yang melekat pada diri nabi.
“Di awal pembentukan Islam, ada dua hal yang menonjol pada Nabi Muhammad SAW. Ia diutus sebagai penebar rahmat dan kasih sayang untuk semesta, juga menyempurnakan umat. Manusia memang diciptakan Allah SWT dengan kecenderungan baik, tapi kebaikan itu tidak akan sempurna kalau belum mengarah ke tauhid,” paparnya.
Manusia masih perlu diberi petunjuk berupa dimensi keilahian, dimensi spiritualitas, dan dimensi tauhid. Jika tidak disadarkan bahwa ia adalah makhluk rohani, maka akan terjebak dengan duniawi yang masanya sangat singkat.
Sementara dalam konteks keindonesiaan, Indonesia sejatinya plural seperti Madinah. Dibuktikan dengan menjamurnya kesultanan yang saling menjaga solidaritas keislaman. Mereka secara sukarela membangun rumah bersama, bukan negara Islam, melainkan republik yang berketuhanan.
Menurutnya, sejarah Indonesia hampir sama dengan asal muasal tercetusnya Piagam Madinah. Dasar negara Pancasila diusulkan oleh umat Islam, bahkan unsur ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan, seluruhnya ada dalam Alquran.
“Pancasila adalah kontribusi umat Islam yang berhasil menjadi pengikat bangsa. Kalau konteksnya keindonesiaan, Pancasila tentu basis sosial yang harus kita jaga agar tercipta akademisi, teknokrat, entrepreneur, dan lapisan lainnya yang bisa membangun Indonesia,” tutupnya. (Reta)*