BANDUNG, unpas.ac.id – Pernikahan beda kewarganegaraan lazim terjadi di Indonesia. Kendati demikian, penting bagi pasangan pengantin untuk mendaftarkan pernikahannya karena memiliki implikasi hukum.
Hal tersebut disampaikan oleh Kaprodi Magister Kenotariatan Unpas Irma Rachmawati, S.H., L.LM., Ph.D. dalam Diskusi Hybrid di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Frankfurt, Jerman, pekan lalu.
Diskusi diikuti 110 peserta, baik yang hadir secara langsung ke KJRI Frankfurt maupun daring.
“Kadang pernikahan bersifat sosial. Tetapi untuk pernikahan beda kewarganegaraan, ada implikasi hukum terhadap hilangnya kewarganegaraan, hak mewaris, dan hak milik atas tanah di Indonesia,” terangnya.
Ia menambahkan, fenomena pernikahan beda kewarganegaraan yang terjadi di Indonesia rentan mengakibatkan penyelundupan hukum.
Salah satu yang kerap terjadi adalah ketika ingin mengajukan kepemilikan hak atas tanah. Biasanya mereka melakukan perjanjian nominee (pinjam nama) dengan menyerahkan surat kuasa kepada WNA untuk bebas melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya.
Hal ini, kata dia, harus dihindari. Larangan penggunaan nominee secara jelas diatur pada Pasal 33 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.
“Pendaftaran perkawinan sangat penting dilakukan karena banyak sekali pernikahan internasional yang tidak didaftarkan. Angkanya cukup siginifikan. Di Jerman saja jumlahnya hampir mencapai ribuan, tapi sedikit yang terdaftar,” ujarnya.
Di luar negeri, WNI bisa mendaftarkan diri di KJRI setempat yang fungsinya sama seperti KUA. KJRI Frankfurt jadi salah satu KJRI yang menyediakan penghulu pernikahan. Bagi yang menikah di KJRI, bisa langsung mendapat surat nikah.
“Mereka bisa melakukan pernikahan di luar, setelah satu tahun baru mendaftarkan ke KJRI. Sayangnya, banyak yang tidak melakukannya, entah karena tidak kembali ke Indonesia atau faktor lainnya,” papar dia.
Irma menuturkan, dari sisi hukum, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 tentang Perjanjian Perkawinan, ketika WNI menikah dengan warga negara lain, maka ia tidak lagi memiliki hak atas tanah di Indonesia karena hartanya bercampur. Namun, dengan perjanjian hukum pra nikah, kepemilikan hak atas tanahnya tidak akan hilang.
“Dulu, perjanjian pra nikah hanya bisa dilakukan sebelum pernikahan. Tapi karena keputusan MK, WNI bisa melakukan perjanjian pernikahan setelah menikah,” tukasnya. (Reta)**