BANDUNG, unpas.ac.id – Gedong Cai Cibadak, merupakan satu dari banyaknya mata air di Kota Bandung yang masih tersisa. Mata air peninggalan Belanda ini berlokasi di Jalan Cidadap Girang, RT 3, RW 5, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung.
Keberadaan Gedong Cai Cibadak yang pada tubuh bangunannya bertuliskan ‘Tjibadak-1921’ rupanya tak lekang dari ancaman. Kelestarian Gedong Cai Cibadak kian rawan seiring dengan menyempitnya ekosistem yang terkepung perumahan elite, kondotel, hingga berbagai hunian mewah lainnya.
Dulunya, Gedong Cai Cibadak memiliki 7 mata air alami. Namun, kini hanya tersisa tiga mata air saja. Debit mata air yang pada masanya mencapai 50 liter per detik, sekarang tinggal 19 liter per detik. Indikasi terancamnya Gedong Cai Cibadak diperkuat dengan berdirinya kondotel yang menguasai satu hektare lahan di dekat lokasi mata air.
Guna menjaga dan melestarikan Gedong Cai Cibadak, budayawan Sunda sekaligus dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan, Hawe Setiawan menggagas petisi online ‘Jaga Gedong Cai Tjibadak Demi Kemaslahatan Dunia’ lewat Change.org.
Petisi tersebut ditujukan kepada Pemerintah Kota Bandung dan Wali Kota Bandung. Melalui petisi itu, Hawe dan warga Kota Bandung menginginkan agar Gedong Cai Cibadak menjadi cagar budaya dan memiliki jaminan perlindungan terhadap ekosistem lingkungannya.
“Selain jadi sumber mata air, di sini juga hidup beragam flora dan fauna, mulai dari lasun, caeruh, peusing, meong congkok, hahayaman, landak, heulang, beo, manuk haur, cangkurileung, jogjog, cikblek, kacamata, saeran gunting, cikakeh, manuk madu, tikukur, puter, kalajengking hejo, sero, bayawak, beunteur, lauk sapu, udang walungan, torop, monyet ekor panjang, sampai bajing kelemes,” katanya.
Kawasan Gedong Cai Cibadak juga tempat tumbuhnya beragam vegetasi tumbuhan seperti 32 jenis awi/bambu, dadap (3), asret (4), somsi (5), jati bodas, mahoni (7), loa (8), cangkring (9), caringin (10), patrakomala (11), tarum (12), katapang (13), kopi (14), rambutan (15), lengkeng (16), peuteuy/petai (17), jengkol (18), huni (19) cereme (20), sawo (21), dan harendong.
“Dulu, mata air diperlakukan sehormat-hormatnya. Bagi orang Sunda, air adalah sumber kehidupan. Maka dari itu, banyak tempat di Bandung yang namanya berawalan ‘Ci’, maknanya mata air,” lanjutnya.
Menurutnya, memasuki era modern banyak mata air yang hilang di tengah pembangunan permukiman dan sarana rekreasi. Di sekitar Gedong Cai Cibadak, Hawe mencatat ada puluhan mata air, termasuk flora dan fauna yang beragam.
“Masalahnya, tanahnya sudah dikuasai korporasi swasta. Sampai sekarang, saya terus menginventarisasi jenis satwa dan tumbuhan yang masih eksis di sekitar Gedong Cai Cibadak. Hal ini agar masyarakat makin mencintai keberadaan hutan kota yang penuh keanekaragaman hayati,” tuturnya.
Adapun Gedong Cai Cibadak telah ditetapkan sebagai Struktur Cagar Budaya dalam Perda Pengelolaan Cagar Budaya Nomor 07 Tahun 2018.
“Bagi saya, yang tidak kalah penting adalah ekosistem di sekeliling Gedong Cai Cibadak. Jenis bambu yang ditemukan saja ada 48. Untuk itu, selain cagar budaya, walaupun tanahnya punya hak milik, saya harap tetap difungsikan bagi kemaslahatan banyak orang, terutama bagian dari sabuk hijau Bandung utara,” tutupnya. (Reta*)