BANDUNG, unpas.ac.id – Perjalanan reformasi di Indonesia telah memasuki usia ke 25 tahun. Namun, perubahan dari rezim otoriter ke rezim reformasi yang sudah berjalan sejak 1998-2023 masih memiliki sejumlah catatan.
Catatan perjalanan panjang reformasi dibahas Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) dalam diskusi interaktif bertajuk Refleksi 25 Tahun Reformasi 98 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan, Jalan Lengkong Besar No. 68, Kamis (11/5/2023).
Salah satu yang disorot Pena 98 adalah politik identitas yang kerap didengungkan jelang pesa demokrasi. Isu tersebut dianggap bertentangan dengan nilai-nilai gerakan 98 yang menolak otoritarianisme atas dasar kesetaraan.
“Jadi konkretnya kita menolak politik identitas karena bisa menjadi racun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Anggota Komisi I DPRD Jabar yang juga aktivis 98 Rafael Situmorang.
Rafael mengakui kesetaraan di ruang-ruang publik memang telah berjalan baik. Hanya saja, ia menilai isu politik identitas harus dihindari agar tidak merusak persatuan yang telah lama diperjuangkan.
Rafael juga mendorong kalangan mahasiswa sebagai referensi masyarakat untuk berperan dalam memberikan edukasi. Terlebih, mahasiswa merupakan pelaku yang menentukan sejarah bangsa, termasuk dalam kontestasi Pemilu.
“Mahasiswa mesti menularkan nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, dan menolak politik identitas. Mahasiswa harus ikut terlibat karena perjuangan ini belum selesai,” tegas Rafael.
Ajang Edukasi Politik
Di tempat sama, Wakil Dekan I FISIP Unpas yang juga Pengamat Politik, Dr. Kunkunrat, M.Si. mengapresiasi diskusi interaktif yang digagas Pena 98.
Menurutnya, diskusi tersebut bukan sekadar temu kangen para aktivis 98, melainkan pengetahuan terkait klaim politik bagi generasi muda.
“Pena 98 merekam isu-isu dalam momentum politik ini bagaimana tidak keluar dari rel demokrasi, di antaranya menyoroti politik identitas,” ujar Kunkunrat.
Ia berpendapat, politik identitas adalah sebuah keyakinan yang menyalahi founding fathers. Pasalnya, Indonesia dibentuk bukan dengan politik identitas, melainkan berdasarkan kesepakatan.
“Indonesia dibentuk atas dasar pluralitas dan persatuan. Ini untuk mematikan memori melalui spirit 98 dan menjadi momentum untuk pembelajaran atau political education kepada masyarakat akademik,” tandasnya. (Reta)**