BANDUNG, unpas.ac.id – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Nyalla Mahmud Mattalitti menyinggung soal amandemen UUD 1945 tahun 1999 hingga 2002 dalam keynote speech-nya pada kunjungan dan diskusi publik di Universitas Pasundan, Jumat (25/8/2023).
Mantan Ketua PSSI ini menyebut, berdasarkan kajian akademik yang dilakukan para guru besar di sejumlah perguruan tinggi, UUD 1945 hasil amandemen pertama-keempat telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi.
Menurutnya, perubahan isi dari pasal-pasal konstitusi justru membuat UUD 1945 menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme.
Bahkan, Komisi Konstitusi yang dibentuk dan bertugas melakukan kajian atas amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 menyatakan, tidak adanya kerangka acuan atau naskah akademik pada amandemen UUD 1945 menyebabkan timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD.
“Artinya, perubahan tersebut tidak dilengkapi pendekatan yang menyeluruh dari sisi filosofis, historis, sosiologis, politis, yuridis, dan komparatif,” ujarnya.
Usulkan Proposal Kenegaraan
Jika sebelum amandemen, sila keempat Pancasila tercermin jelas di Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, maka setelah amandemen, cerminan tersebut hilang.
Hal itulah yang mendorong DPD RI menginisiasi penyusunan Proposal Kenegaraan DPD RI sebagai penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara dengan 5 pokok utama.
“Pertama, MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Presiden bersifat mandataris dan bertanggung jawab kepada MPR. Evaluasi kinerja presiden dalam menjalankan haluan negara dilakukan oleh MPR,” tuturnya.
Kedua, membuka peluang adanya anggota DPR-RI dari unsur perorangan atau non-partisan yang juga dipilih melalui Pemilu, sehingga tidak didominasi representasi partai politik.
Ketiga, memastikan utusan daerah dan utusan golongan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah, bukan didasari penunjukan presiden.
“Keempat, memberikan kewenangan kepada utusan daerah dan golongan untuk menyampaikan pendapat terhadap materi RUU yang dibentuk DPR dan presiden sebagai bagian dari keterlibatan publik yang utuh,” sambungnya.
Kelima, menempatkan tugas, peran, dan fungsi lembaga negara yang sudah dibentuk di era reformasi dengan tepat.
“Penyempurnaan dan penguatan tersebut harus dilakukan dengan teknik adendum konstitusi, sehingga mesti mengembalikan terlebih dahulu UUD 194 naskah asli untuk kemudian diamandemen menggunakan teknik adendum agar tidak mengubah azas dan sistem bernegara yang dirumuskan pendiri bangsa,” terangnya.
Agenda kolaborasi Unpas dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) Jawa Barat ini dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan empat panelis, yaitu Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Ekonomi Politik), Dr. Mulyadi, S.Sos., M.Si. (Dosen Universitas Indonesia), serta Dosen FH Unpas Dr. Abdy Yuhana, M.H. dan Nia Kania Winayanti, S.H., M.H.
Hadir Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si., Rektor Unpas dan Ketua APTISI Jabar Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom., IPU, para Wakil Rektor, Ketua APTISI Pusat Dr. Ir. H. M. Budi Djatmiko, M.Si., MEI., dan undangan lainnya. (Reta)**