BANDUNG, unpas.ac.id – Kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik kepada pemerintah merupakan pilar penting demokrasi.
Diberangusnya kebebasan berekspresi, berpendapat, berpikir, berserikat, dan mengutarakan kritik di muka umum akan menyebabkan demokrasi berjalan pincang.
Wacana tentang fenomena pembungkaman kritik belakangan ini kian mengemuka tatkala publik dipertontonkan dengan praktik kriminalisasi terhadap para pengkritik menggunakan pasal pencemaran nama baik.
Dalam praktiknya, kriminalisasi terhadap para pengkritik cenderung dilakukan oleh penguasa, pemodal, koorporasi (pemilik kepentingan) yang merasa terusik karena kritikan.
Hal tersebut menjadi perhatian LPM Pembela Pers Universitas Pasundan yang kemudian dibahas dalam Diskusi Publik “Hilangnya Kebebasan Berekspresi di Tengah Politik Anti-Kritik”, Kamis (8/9/2022).
Diskusi ini menghadirkan Ketua AJI Bandung Tri Joko Her Riadi, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Dr. Mahi M. Hikmat, M.Si., dan Dosen Fakultas Hukum Unpas Dr. Rika Kurniasari, S.H., M.Hum.
Jurnalis di Tengah Rezim Anti-Kritik
Selaku insan jurnalistik, Tri Joko mengakui kondisi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sudah sangat mencemaskan. Ditandai dengan maraknya unjuk rasa dan protes terkait pembahasan RKUHP dan UU ITE.
“Yang mencemaskan adalah, RKUHP mencoba menarik delik pers yang pada UU No 40 Tahun 1999 dimasukkan ke mediasi Dewan Pers. Sebetulnya, semua karya jurnalistik tidak boleh dipidana karena pers memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal jalannya pemerintahan,” paparnya.
Di samping menghadapi wajah pers yang kualitasnya semakin menurun, jurnalis juga dihadapkan dengan gaya baru ancaman kekerasan yang kini beralih dari penyerangan fisik ke digital.
“Belum lagi ancaman bredel pers mahasiswa, isu kesehatan mental, pelecehan seksual khususnya jurnalis perempuan, dan derajat kesejahteraan yang buruk,” tambahnya.
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Dr. Mahi M. Hikmat, M.Si. menambahkan, negara tanpa kebebasan berpendapat dan kebebasan pers mengakibatkan hilangnya kontrol/pengawasan, rakyat tidak mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, timbulnya kekuasaan sewenang-wenang, dan mendorong tindak penindasan.
“Jurnalis mengacu pada teori kebebasan media, di mana publikasi bebas penyensoran, kecaman terhadap elite politik tidak dapat dipidanakan, tidak wajib memublikasikan segala hal, tidak ada batasan hukum upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi, dan jurnalis bisa menuntut otonomi profesional di organisasi mereka,” paparnya.
Kritik Jadi Aspek Fundamental Demokrasi
Muaranya, menurut Dosen FH Unpas Dr. Rika Kurniasari, S.H., M.Hum., kebebasan berekspresi merupakan hak konstitusional. Kritik menjadi mekanisme yang bisa digunakan publik untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan, agar benar-benar berkiblat pada kebaikan bersama.
Masyarakat juga mesti bijaksana dalam mengungkapkan kritik. Kritik dengan bahasa sarkastis, nirsubstansi, dan asal bunyi tentu tidak dibenarkan. Sebaliknya, kritik dengan akal sehat, data valid, motif moral, dan bahasa santun mesti terus dibudayakan.
“Ingat, kritik dan merendahkan adalah sesuatu yang berbeda. Dari kacamata hukum, mendukung kebebasan berekspresi diperbolehkan, tapi tetap dalam batas. Jadikan Pancasila sebagai filter dan filosofis bangsa,” pungkasnya. (Reta)**