BANDUNG, unpas.ac.id – Universitas Pasundan menggelar Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Guru Besar di Mandala Saba Ir. H. Djuanda, Kampus II Unpas,, Sabtu (27/4/2024). Prof. Dr. Ade Priangani, M.Si. menjadi satu dari tiga guru besar yang dikukuhkan dan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Ekonomi Syariah sebagai Alternatif Tata Kelola Ekonomi Politik Global”.
Pasca krisis finansial global tahun 2000-an, ekonomi politik internasional berbasis kapitalisme menjadi tergugat karena sistem ekonomi ini ternyata memiliki kelemahan. Asumsi kelemahan kapitalisme dapat dilihat dari kasus Great Depression 1930-an dan krisis moneter 1990-an.
Banyak pakar yang mengkritik kelemahan kapitalisme dan mencoba mencari alternatif untuk menggantikan posisi kapitalisme. Mereka memunculkan gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi baru (the new economics) yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif, dan pencapaian tujuan-tujuan efisiensi.
“Kalau dihayati lebih mendalam, ternyata the new economics memiliki kemiripan dengan Ekonomi Syariah yang praktik ekonomi-politiknya bersendikan nilai agama Islam. Tujuannya untuk menempatkan ibadah kepada Allah lebih dari segalanya, menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, meraih kesuksesan perekonomian yang diperintahkan Allah, juga menghindari kekacauan dan kerusuhan,” jelas Prof. Ade.
Komparasi Nilai Kapitalisme dan Syariah pada Tata Kelola Ekonomi Politik Global
Prof. Ade mencoba mengomparasi sisi-sisi kelemahan nilai kapitalisme dengan prinsip-prinsip syariah sebagai solusi untuk memperbaiki sistem ekonomi yang sedang berlangsung dewasa ini. Ada empat hal yang menjadi konsentrasi, yaitu perdagangan internasional, keuangan internasional, pasar global, dan keseimbangan kekuasaan struktural antar negara.
Berdasarkan hasil komparasinya, ia memandang perdagangan internasional dalam nilai kapitalisme berkaitan erat dengan free trade (pasar bebas). Dalam menetapkan harga pasar, permintaan dan penawaran berjalan secara bebas, sehingga peran negara sangat terbatas. Faktor penting dari sistem ekonomi kapitalis adalah motif keuntungan yang menekankan individualisme dan kebebasan dengan konsep mekanisme pasar dan invisible hand.
“Dalam nilai syariah, perdagangan internasional diperbolehkan bagi setiap negara, namun harus memerhatikan kaidah-kaidah perdagangan, yaitu kehalalan barang dan jasa, serta dapat merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Ini sejalan dengan perintah Allah kepada umat muslim untuk mencari rezeki di belahan bumi mana pun yang tercantum dalam QS Al-Fushilat: 10,” terangnya.
Terkait keuangan internasional, pada nilai kapitalisme terdapat liberisasi keuangan, di mana kebijakan nilai bunga bank diserahkan pada mekanisme pasar dan nilai tukar uang cenderung kompetitif karena terdapat kebijakan untuk melepas nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah.
“Sementara pada nilai syariah, uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar, mata uang dicetak dengan basis emas dan perak (dinar atau dirham). Sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil juga akan berjalan tegak, tidak mudah goyang,” tuturnya.
Dari segi pasar global, sistem pasar bebas membuka peluang untuk berkompetisi secara sehat sehingga mekanisme pasar akan melahirkan keseimbangan alamiah. Sedangkan nilai syariah mampu menjembatani gap antara kepentingan pribadi dan moral sense.
Terakhir, dalam nilai kapitalisme, keseimbangan kekuasaan struktural antar negara dan antar lembaga memungkinan kegiatan perdagangan dilakukan dalam atmosfer persaingan sempurna. Tidak ada kekuasaan yang akan memengaruhi harga maupun proses produksi, sehingga harga yang muncul merupakan interaksi dari adanya permintaan dan penawaran.
“Pada poin ini, nilai syariah berbeda, dia mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang seimbang sesuai ajaran Islam tanpa terlalu membatasi kebebasan individu, juga mewujudkan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkelanjutan,” jelasnya.
Perlu Dikaji Lebih Lanjut
Prof. Ade mengatakan, perlu kajian mendalam untuk memadukan nilai-nilai ekonomi syariah guna menutupi kelemahan sistem internasional yang saat ini berbasis ekonomi kapitalis. Jika keduanya dapat dipadukan, maka akan lahir sebuah pendekatan baru yang berbasis kedua nilai tersebut, yang bisa saja dinamai ‘Kapitalisme Syariah’ dengan bersendikan nilai-nilai etika Protestan dan nilai-nilai Ilahiah Islam dalam tatanan ekonomi global.
“Tapi bukan berarti memadukan nilai Protestan dan Islam, melainkan married hanya dalam tata kelola ekonomi global. Hal ini mungkin sebagai penyempurnaan dari nilai-nilai yang memang bersumber pada agama ‘Samawi’. Kapitalisme baru ini adalah kapitalisme yang ingin diluruskan kembali pada nilai-nilai Ilahiah,” tandasnya. (RetaAS)**