BANDUNG, unpas.ac.id – Pemerintah terus menyuarakan larangan pembelian pakaian bekas atau thrifting, khususnya pakaian bekas impor.
Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan untuk menyetop impor pakaian bekas karena dianggap mengganggu pendapatan negara dan industri tekstil dalam negeri.
Menyikapi fenomena ini, Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menuturkan, thrifting disebut merugikan negara jika pajak impor tidak dibayarkan.
Selain itu, thrifting juga berpengaruh besar terhadap industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri TPT terbesar.
“Saya rasa, itu ada kaitannya dengan kekhawatiran pemerintah. Kalau dibiarkan, dampak buruk (thrifting) yang lebih besar kemungkinan bisa terjadi,” ujarnya, Jumat (31/3/2023).
Kendati demikian, evaluasi kebijakan terkait impor harus secepatnya dilakukan agar larangan aktivitas thrifting dan penjualan pakaian bekas impor tak mendapat penolakan dari masyarakat akibat tidak adanya solusi.
“Sebenarnya impor pakaian bekas kan sudah terjadi sejak lama. Pemerintah harus punya roadmap dan strategi sosialisasi yang jelas, termasuk alternatif bagi pedagang dan masyarakat,” imbuhnya.
Menurut Acuviarta, pemerintah bisa memangkas biaya produksi TPT, sehingga produk dalam negeri memiliki daya saing, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di pasar global.
“Masyarakat sebetulnya bukan mempermasalahkan brand yang memproduksi, tapi harganya. Kalau harga produk dalam negeri masih tetap tinggi, minat masyarakat terhadap thrifting mungkin tidak akan berubah,” tegasnya.
Penanganan Tidak Hanya di Bagian Hilir
Penanganan terkait larangan impor pakaian bekas harus dimulai dari hulu. Jika bisnis thrifting dilarang, Bea Cukai mestinya sejak awal mengamankan impor pakaian bekas atau memastikan impor tersebut legal.
“Kalau produksi barang dalam negeri bagus dan berkualitas, pemerintah dapat berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kemenkop UKM agar maksimal dan bisa bersaing dengan barang luar,” tutupnya. (Reta)**