BANDUNG, unpas.ac.id – Beberapa hari lalu, tepatnya 3 Mei 2023, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers. Peringatan ini dimanfaatkan berbagai organisasi wartawan untuk mendesak pemerintah, baik terkait percepatan pembahasan regulasi yang mengatur kebebasan pers maupun perlindungan terhadap insan media.
Namun, selain permasalahan tersebut, media juga tengah dihadapkan dengan persoalan pelik yang memengaruhi laju bisnis akibat dominasi platform global.
Hal ini disinggung Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pasundan yang juga Pemimpin Redaksi TuguBandung.id dan Kabid Litbang PWI Jabar Erwin Kustiman, S.Sos., M.I.Kom.
Sebagai praktisi dan akademisi, Erwin menilai masifnya kemunculan platform global mengancam keberadaan pers karena dianggap memonopoli sektor iklan dan menggeser peran jurnalis.
“Eksistensi media mainstream terancam kehadiran media sosial yang ditopang secara personal. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuat akun-akun personal mencoba memainkan peran sebagai jurnalis yang dulu hanya bisa dilakukan wartawan,” paparnya, dilansir dari RRI Bandung, Sabtu (6/5/2023).
Dari segi bisnis, Erwin menyebut, media mainstream semakin terpuruk dan kehilangan pendapatan. Sebab, iklan yang menjadi tulang punggung pendapatan media kini harus masuk melalui platform global terlebih dahulu.
“Dalam kondisi seperti itu, sulit bagi wartawan untuk mengembangkan konten yang sejalan dengan prinsip jurnalistik. Mereka akhirnya tergiring untuk mengikuti pola yang ditimbulkan media sosial, sehingga kualitas jurnalistik menurun,” sambungnya.
Berharap pada Regulasi
Erwin berharap, regulasi untuk mengantisipasi dominasi platform global yang sedang dirancang pemerintah dapat memberikan daya tawar kepada media mainstream selaku produsen berita untuk diberikan kompensasi yang memadai.
“Sekarang, media mainstream seolah diposisikan setara dengan media sosial yang sifatnya personal. Padahal, ada regulasi yang mengharuskan media mainstream bersifat lembaga dan berbadan hukum agar selaras dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pers,” terangnya.
Ia menambahkan, dengan hadirnya regulasi yang jelas, platform global bisa lebih transparan dalam perolehan pendapatan dan memberi nilai lebih kepada media sebagai penghasil produk jurnalisme yang berkualitas.
“Kita sudah berupaya membuat konten berkualitas, tapi kalah dengan konten-konten hoax atau yang masih bias kebenarannya,” ujar Erwin.
Ke depan, berbekal regulasi tersebut, akan dilakukan bargaining ke platform global kendati terdapat alternatif lain.
“Sebetulnya kita bisa membuat agregator lokal yang diinisiasi salah satu perusahaan telekomunikasi nasional. Nanti mungkin seluruh media mainstream akan gabung ke sana supaya pendapatan yang diterima agregator dan media mainstream jelas,” katanya.
Regulasi ini, kata dia, bukan untuk mengurangi atau melarang penggunaan media sosial pribadi, namun merujuk pada penguatan media mainstream. “Jangan sampai kita mengeluarkan regulasi yang membuat hak satu pihak dipertahankan, tapi hak lain tidak dipenuhi,” tutupnya. (Reta)**