BANDUNG, unpas.ac.id – DKI Jakarta dan kota besar lainnya masih menjadi magnet bagi pencari kerja dari sejumlah daerah. Para pendatang berusia muda kerap tergiur pendapatan yang lebih tinggi dibanding harus bekerja di desa.
Di momen arus balik lebaran, banyak pendatang baru yang berharap bisa mengadu nasib di kota. Selain alasan pendapatan, hal ini juga dipicu minimnya perhatian untuk desa dan lemahnya pembangunan ekonomi berkelanjutan di wilayah desa.
Pengkaji budaya populer Universitas Pasundan Dr. Idi Subandy Ibrahim, M.Si. menyebut, momen lebaran menjadi kesempatan untuk melakukan urbanisasi sekaligus ajang rutin memboyong keluarga ke kota.
“Ketika seseorang berhasil membawa keluarganya ke dalam kehidupan yang lebih baik, kota-kota besar seakan memiliki sihir. Belum lagi televisi dan media sosial yang turut menampilkan kemajuan ibu kota dan menyihir orang tentang harapan masyarakat daerah,” ujarnya, Selasa (2/5/2023).
Menurutnya, media memberikan pengaruh dan memikat masyarakat desa untuk menemukan kebahagiaan di kota, sehingga diperlukan kampanye perihal kerasnya hidup di kota.
“Hanya orang berpendidikan dan memiliki keahlian yang kemungkinan bisa tinggal dan bertahan di kota. Kalau tidak, dikhawatirkan menumpuk di slum area (permukiman kumuh),” katanya.
Peran Pemerintah
Urbanisasi, kata dia, juga dapat meningkatkan frustasi karena kehidupan di kota tidak sesuai dengan harapan. Sebab, masyarakat perkotaan cenderung individualis, impersonal, dan egois.
“Masyarakat desa tidak selalu siap dengan hal itu,” tambahnya.
Ia menilai, tidak cukup jika pemerintah hanya memberi imbauan untuk tidak membawa keluarga yang tak memiliki keterampilan.
Pemerintah mesti mengidentifikasi kelompok masyarakat yang masuk ke kota, serta daerah penyuplai urbanisasi karena tidak semua orang melakukannya untuk alasan yang sama.
Namun, pemerintah harus punya alat dan perangkat yang cukup untuk melakukan identifikasi tersebut. Identifikasi tidak bisa dilakukan parsial karena fenomena akan terus berulang.
“Ketika kaum urban sampai di kota, peraturan melapor di tingkat RT dan RW saya rasa hanya basa-basi saja, karena tidak bisa dilarang dan tidak berefek. Beban kehidupan dan sosial baru dirasakan ketika ingin menata kota. Seharusnya, dari puluhan tahun lalu bisa diantisipasi,” tandasnya. (Reta)**